Kamis, 28 Januari 2016

Pertama di 2016: Jejak Sophisme Dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia

Harga: Rp.15.000 + Ongkos Kirim


Judul Buku: Jejak Sophisme Dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia
Penulis: Qosim Nursheha Dzulhadi
Tahun Terbit: 2016
Halaman: 88
Genre: Kajian, Referensi


Muqaddimah 

Dalam orasi ilmiahnya pada peringatan 10 Tahun Perjalanan Dakwah INSISTS (25-27 Januari 2013) di Gedung Pertemuan Al-Irsyad, Jl. Solo-Tawamangu Km.27, Karangpandang – Jawa Tengah, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi mencatat bahwa umat Islam dewasa ini menghadapi dua tantangan sekaligus: eksternal dan internal. Tantangan pertama datang dari peradaban asing, khususnya Barat. Peradaban Barat modern dengan program globalisasi dan Westernisasi menyebarkan paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, dualisme, desakralisasi, pragmatisme dan sophisme, nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberal, sekularisme dan sebagainya. Sementara Barat modern ditambah lagi dengan paham Barat postmodern membaca paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan gender (gender equality), dan dekonstruksionisme. Paham-paham itu semua dengan sengaja telah dan sedang dimasukkan ke dalam pikiran dan kehidupan umat Islam dalam bentuk sistem, konsep, dan bahkan gerakan ekonomi, politik, pendidikan, budaya, ilmu pengetahuan dan sebagainya.[1] 

Dan tantangan kedua berkaitan dengan yang pertama, yaitu: bagaimana umat Islam dapat menolak, mengkritisi, mengasimilasi, atau memodifikasi sistem dan konsep-konsep asing yang multidisiplin ilmu itu. Sebab hal ini bukanlah kerja yang bisa dilakukan sembarangan orang. Bahkan kerja ini tidak bisa dilakukan oleh sekelompok cendekiawan yang hanya menguasai disiplin ilmu-ilmu syariah (‘ulūm naqliyyah) atau cendekiawan yang hanya menguasai sains fisika dan kemanusiaan (‘ulūm ‘aqliyyah).[2] Ringkasnya, tantangan internal umat Islam ada dua, yaitu: pertama, ketidak-berdayaan para cendekiawannya menghadapi paham, epistemologi dan ideologi asing secara kritis. Kedua, kelemahan tradisi pengkajian ilmu keislaman yang dapat memenuhi hajat umat dimasa sekarang.[3] 

Dan tantangan internal umat Islam itu ternyata lahir dalam wacana yang dikembangkan oleh kaum liberal – dalam ranah liberalisasi pemikiran Islam. Dimana doktrin-doktrin Barat modern maupun postmodern menjadi menu khusus pemikiran mereka. Doktrin relativisme, skeptisisme, dan nihilisme yang lahir dari rahim peradaban Barat modern dan postmodern itu diadopsi secara taken for granted. Ini adalah wujud dari hilangnya nalar-kritis sebagian intelektual umat Islam. Akhirnya doktrin-doktrin asing dan destruktif itu diterima dengan polos. Nyaris tanpa kritik. Lebih aneh lagi ternyata yang terjadi malah sebaliknya: Barat modern dan postmodern dibela, para ulamā’ yang anti doktrin-doktrin di atas malah dikritik habis-habisan. Ini, dalam bahasa sekarang, adalah logika postmodernism yang anti-otoritas. Dagangannya adalah tiga anak yang lahir dari postmodernism itu sendiri: relativisme, skeptisisme, dan nihilisme

Tentu saja hal di atas mengingatkan kita kepada catatan penting dari seorang Ibn Khaldūn (732-808 H/1332-1406 M) dalam kitab al-Muqaddimah yang amat terkenal itu,

الـمَغْلُوْبُ مُوْلَعٌ أَبَدًا بِالاِقْتِدَاءِ بِالْغَالِبِ فِي شِعَارِهِ وَ زِيِّهِ وَنَحْلَتِهِ
وَسَائِرِ أَحْوَالِهِ وَعَوَائِدِهِ

“Seorang pecundang (yang kalah) selalu tunduk kepada sang dalam segala hal: dalam motto-hidupnya, cara-berpakaiannya, keberagamaannya, bahkan dalam seluruh gerak-gerik hidup dan kebiasaanya).” 

Dan sebabanya hanya satu: inferiority complex (murakkab al-naqs) atau al-inhizām al-nafsī yang dalam bahasa Ibn Khaldūn disebutkan dalam kalimat: wa al-sabab fī dzālika anna al-nafsa abadan ta‘taqid al-kamāl fī man ghalabahu (adanya keyakinan bahwa kesempurnaan berada pada diri orang yang telah mengalahkannya).[4] Hal di atas adalah penyakit dan harus segera dilakukan diagnosa sekaligus pengobatan. Karena penyakitnya bersifat intelektualitas, maka obatnya juga harus tepat dan manjur (melalui sajian intelektualitas pula). Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan semacam preventive (al-wiqāyat) bagi siapa saja – yang jelas Muslim – yang belum mengidap penyakit inferiority complex di hadapan peradaban Barat itu. Dimana akhirnya peradaban Barat itu menjadi sumber keterkaguman yang berlebihan (al-inbihār bi al-gharb). Mudah-mudahan ini menjadi tindakan-pencegahan, karena seperti pepatah Arab menyatakan, al-wiqāyat khair min al-‘ilāj (mencegah itu lebih baik daripada mengobati). Bagi yang sudah terjangkiti, semoga mereka cepat sembuh seperti sedia-kala.
 


[1] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Sinergi Membangun Peradaban Islam”, dalam booklet 10 Tahun INSISTS: Sinergi Membangun Peradaban Islam (2013), hlm. 12-13. Lihat juga, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Membangun Kembali Peradaban Islam Secara Sinergis, Simultan dan Konsisten”, dalam Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (dkk), Membangun Peradaban dengan Ilmu (Kampus UI Depok: Kalam Indonesia, 1431 H/2010 M), hlm. 169-170. Lihat juga karya beliau, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya (Ponorogo-Jatim: Center of Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2010), hlm. 49-51.
[2] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Sinergi Membangun Peradaban Islam”, hlm. 16.
[3] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Sinergi Membangun Peradaban Islam”, hlm. 16.
[4] Lihat, ‘Abd al-Rahmaān ibn Khaldūn, al-Muqaddimah (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1431 H/2001 M), hlm. 184. Kitab ini biasa dikenal dengan Muqaddimah Ibn Khaldūn, yang jilid pertama dari kitab sejarah karyanya yang berjudul Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Tārīkh al-‘Arab wa al-Barbar wa Man ‘Āsharahum min Dzawī al-Sya’n al-Akbar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar