Harga: Rp.20.000 + Ongkos Kirim |
Judul Buku: Santri, Menulislah!
Penulis: Radinal Mukhtar Harahap
Tahun Terbit: 2015
Halaman: 110
Genre: Motivasi, Jurnalistik, How To
Hingga sekarang, 2015,
saya diamanahi pesantren untuk menjadi pengurus di Biro
Informatika-Teknologi-Jurnalistik (ITJ) yang sebagian besarnya memberi pembekalan writing-skill kepada santri-santriwati
plus calon alumni Pesantren
Ar-Raudlatul Hasanah. Untuk beberapa jam pertemuan yang disediakan, hal itu tentu tidak cukup untuk
melahirkan seorang penulis. Walhasil, setiap tahunnya saya hanya
mengkreasi semacam pengantar saja untuk dapat menulis. Untuk praktik dan
pengembangannya, saya harapkan dapat mereka jalankan sendiri ketika terjun di
masyarakat.
Sedikit banyak, harapan
itu saya rasakan dari beberapa pertanyaan yang masuk ke inbox facebook,
bbm, sms dan media lainnya tentang bagaimana mengembangkan kemampuan
menulis. Bahkan di antara mereka,
yang tentunya telah bergabung dengan komunitasnya masing-masing, ada yang
berkenan ‘memanggil’ saya untuk sekedar mengulangi pengantar tersebut, bahkan
meminta lanjutannya. Di sela-sela kegiatan padat di pesantren, hal itu tentu membuat
saya kerepotan.
Kendala-kendala semacam di
atas pada akhirnya mendorong saya untuk menyelesaikan buku singkat ini. Saya
katakan buku, meskipun dengan penambahan kata singkat setelahnya, tentunya
setelah merujuk pada apa yang didefinisikan Unesco pada tahun 1964: a book
is a non-periodical printed publication of at least 50 pages, exclusive of the
cover pages, pubished in the country and made available to the public. Toh,
tulisan saya ini sudah memenuhi semua persyaratan di atas.
Sudah lama saya hendak
menyelesaikan buku ini, yaitu ketika Khaled Abou el-Fadl dalam Musyawarah
Buku-nya seperti berbisik kepada saya, “Pesan Islam dimulai dengan
sebuah buku (al-Qur’an); sebuah buku yang mengandung visi moral dan kebaikan
yang luar biasa. Buku ini telah mengilhamkan warisan intelektual
yang indah dan agung.” Bak sedang bercengkrama, saya larut dalam
setiap kata Khaled. Cukup lama hingga sebuah ide muncul dalam benak saya,
bagaimana bisa membangun tradisi menulis di pesantren?
Dus, ada beberapa eksperimen yang sudah saya
coba lakukan untuk menjawab ide berbentuk pertanyaan di atas. Namun hingga
kini, saya merasa belum melihat apa-apa sebagai hasilnya. Barangkali, simpul
saya sekarang, karena percobaan saya selama ini masih berbentuk dialog yang
akan hilang setelah selesainya dialog tersebut. Ada pelatihan, training, diklat
dan semacamnya yang sudah saya berikan kepada santri-santriwati. Namun belum
ada goresan yang tertulis sebagai pegangan mereka untuk berlatih. Walhasil,
kita semua tentu dapat menebak; semangat ketika pelatihan, kebingungan ketika
melakukan.
Karena itu, buku ini saya racik sedemikian rupa
agar benar-benar seperti berada di ruang pelatihan menulis. Tidak akan Antum-Antunna
jumpai ragam teori dalam buku ini kecuali dalam halaman motivasi menulis saja.
Setelah itu, Antum-Antunna diharapkan dapat melaksanakan setiap arahan
yang ada untuk kemudian melihat apa yang telah Antum-Antunna hasilkan
dari usaha tersebut. Tentu, saya pun tidak berani menjamin Antum-Antunna
akan benar-benar menjadi penulis setelahnya. Namun, dengan tulisan yang ada di
hadapan Antum-Antunna sejenak setelah melakukan itu semua, Antum-Antunna
sudah dapat melihat bahwa ada ide besar yang tersimpan rapi dalam diri Antum-Antunna.
Dan ide itu dapat diwujudkan dalam bentuk tulisan!
Layaknya tukang ojek yang hanya menghantar,
saya kira tidak perlu berlama-lama saya mengajak Antum-Antunna
bercengkrama dalam bagian ini. Mari kita memulai membangun tradisi menulis
yang, sejatinya, sudah sedari dulu menjadi kebiasaan para pendahulu kita,
ulama-ulama kita, bahkan Allah dan Rasul pun memerintahkannya. Sekedar
ingin meledakkan kembali semangat Antum-Antunna, simaklah bagaimana Imam
al-Ghazali berkata di telinga Anda: Kalau engkau bukan anak raja atau anak
seorang ulama, jadilah seorang penulis.
Radinal Mukhtar Harahap
TIM
RDP-MATLA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar