Rabu, 20 April 2016

Bekal Dakwah dan Ceramah

Judul Buku: Bekal Dakwah dan Ceramah
Penulis: Team Departemen Dakwah Ikatan Keluarga Ar-Raudlatul Hasanah (Qosim Nursheha, Imamul Authon Nur, Radinal Mukhtar Harahap, Mukhlis Mubarrok Dalimunthe, Supriadi)
Tahun Terbit: 2016
Halaman: 128 halaman
Genre: Non Fiksi, Kumpulan materi ceramah



Puji dan syukur kehadirat Allah swt. atas nikmat Islam yang dikaruniakan kepada kita, sehingga kita terlepas dari segala bentuk keburukan. Shalawat dan salam atas Rasulullah Muhammad saw yang diutus Allah untuk menjelaskan kepada manusia ajaran-ajaran Allah swt yang lurus. Amma Ba’du
Allah menjelaskan bahwa menyeru manusia ke jalan Allah adalah sebaik-baik perkataan, yaitu melalui firmannya, “Dan siapakah yang paling baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata sungguh aku termasuk orang-orang muslim” (QS. Fushshilat [41]: 33).
Oleh karena itu, Allah swt. memerintahkan kita untuk menyeru manusia kepada jalan Allah swt. “Serulah menuju jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasehat yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik” (QS. Al-Isra’ [17]: 125).
Apresiasi yang tinggi sangat pantas kami ucapkan kepada para penyumbang materi-materi dakwah sehingga buku Bekal Dakwah dan Ceramah ini dapat diterbitkan dan dapat dinikmati.
Akhirnya buku ini dihantarkan kepada para pembaca dengan jutaan harapan semoga buku ini bermanfaat dan dapat membantu para pembaca secara umum dan kepada orang-orang yang masih pemula untuk berdakwah secara khusus.
Ust. Erwin, ST
Ketua Departemen Dakwah dan Pendidikan Ikatan Keluarga Ar-Raudlatul Hasanah (IKRH)

Selasa, 01 Maret 2016

Dari Bilik Asrama Puteri


Judul Buku: Dari Bilik Asrama Puteri
Penulis: Santriwati Pilihan Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah
Tahun Terbit: 2016
Halaman: viii + 72
Genre: Non Fiksi, Kumpulan Cerpen dan Puisi

Dari Bilik Asrama Putri 
-Semacam Pengantar- 

Tahun 2015, tepatnya 25 Februari – 2 April 2015 dengan selang hari yang digunakan untuk penjurian di saat santri-santriwati mengikuti ulangan umum, Biro Perpustakaan dan Kajian (Biro PerpusKaji) mengadakan Musabaqah Maharatil Kitabah yang dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa di antara bukti nyata keilmuan seseorang adalah kemampuan menuliskan buah pemikiran dan gagasannya. Para ulama muslim sejak lama telah menyadari hal itu untuk kemudian, di zaman ini, kita dengan mudah melihat karya-karya tulis mereka, baik berupa manuskrip, buku tercetak, artikel-artikel yang tersebar dan lain sebagainya. 

Alhamdulillah, laporan panitia saat itu ada 287 partisipan yang terbagi dalam beberapa perlombaan, yaitu (1) Lomba menulis cerpen, (2) Lomba menulis kisah inspiratif, (3) Lomba menulis resensi, dan (4) Lomba menulis puisi. Terkait lomba itulah buku ini tercipta, buku yang kami beri judul Dari Bilik Asrama Putri karena penulis-penulisnya adalah santriwati-santriwati pesantren Ar-Raudlatul Hasanah yang meluangkan waktunya menggoreskan buah-buah pemikiran dalam bentuk cerita pendek atau puisi. 

Kami sebagai penanggung jawab Biro Perpuskaji Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah tentu sangat menyambut baik penerbitan buku ini. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun dalam bilik-bilik asrama, yang barangkali dianggap banyak orang tidak nyaman karena masih berbahan kayu dan papan, santriwati-santriwati masih dapat berkarya dengan baik. 

Meski demikian, tentu karya ini perlu peningkatan di berbagai sisi dan sudut karena, harus kita akui, ini masih karya pemula yang masih dalam tahap “coba-coba”. Walau demikian, kita tentu mengingat kalimat bijak yang berbunyi, “coba-coba justru lebih baik daripada tidak ada”. Mencoba berarti berani berbuat. Berani berbuat bermakna mempunyai niat. Mempunyai niat adalah modal dasar kesuksesan. Kami mendoakan siapa-siapa saja santriwati yang terlibat langsung dalam lahirnya karya ini akan mencapai kesuksesannya, apakah dengan modal karya kecil ini atau dengan modal-modal lainnya. 

Tanpa berlama-lama dalam kata pengantar, kami justru berharap karya-karya, meski kecil, seperti ini akan mengantar santriwati-santriwati lainnya untuk berkarya dan mencipta tulisan-tulisan bertenaga lainnya. Selamat membaca, selamat menikmati. Dalam sebuah karya, terkadang bukan yang tertuang jelas menjadi inspirasi, namun apa yang ada di balik karya tersebut, itulah yang menjadi pelajaran. Mari melihat, apa yang ada di balik bilik asrama putri. 

Imamul Authon Nur 
Ka.Biro PerpusKaji

Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar


Judul Buku: Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar
Penulis: Qosim Nursheha Dzulhadi
Tahun Terbit: 2016
Halaman: 88
Genre: Kajian, Referensi


“… Hamka was, arguarly, the most widely read novelist of his age. He was, until his death in 1981, certainly the most popular ulama in the New Order Indonesia. While “Hamka the individual” remains obscure, his writings should be acknowledged as an important source for historians and writers; they have an authoritative place in the work of Taufik Abdullah, Harry Benda, Deliar Noer, and Anthony Reid, among others, it is not the purpose of this essay to redeem Hamka politically or defend the literary merit of his fiction. But because of perceived failures, Hamka has often been wrongly ignored. He deserves to be recognized as an interesting and importan figure in modern Indonesian history.”
―Jeffery Hadler―

Pengantar


BUYA HAMKA, demikian dikenal namanya, adalah seorang ulama, politisi, sekaligus sastrawan. Kiprahnya sebagai ulama tidak diragukan lagi. Karena karyanya dalam bentuk buku yang “bernafaskan” Islam membuktikan hal itu. Kiprahnya sebagai politisi juga tak terbantah. Karena pernah menjadi anggota Partai Sarekat Islam dan Masyumi. Bahkan sebagai sastrawan dibuktikan dengan beberapa karyanya dalam bentuk novel.[1]
Keilmuan Buya Hamka tak diragukan lagi. Apalagi dalam bidang tafsir Al-Quran. Karyanya yang sangat fenomenal adalah Tafsir Al-Azhar, yang beliau tuntaskan penulisannya di dalam jeruji besi alias penjara membuktikan hal itu. Ini mengingatkan kita kepada pemikir, ideolog Ikhwanul Muslimin (IM) sekaligus sastrawan Mesir, Sayyid Qutb (w. 1966): yang menulis tafsirnya Fī Zhilāl al-Qur’ān (Di Bawah Naungan Al-Quran) dari balik terali besi juga. Atau ke zaman yang lebih klasik, Imam Ibn Taimiyyah (w. 728 H) yang melahirkan karya-karyanya dari dalam penjara. Lebih dari itu, Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka ini menjadi menarik untuk dikaji karena ia alami: hasil anak negeri, ulama besar Indonesia, asal Maninjau, Sumatera Barat. Meskipun pasti dipengaruhi oleh pemikiran tokoh berikut karya mereka dalam tafsir dan yang lainnya.


[1] Bahkan dua karyanya dalam bidang sastra, Di Bawah Lindungan Ka’bah (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-26, 1422 H/2001 M) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-26, 1423 H/2002 M) telah diangkat ke layar lebar. 
Beliau juga menerjemahkan satu karya novelis asing, Alexander Dumas Jr., Margaretta Gauthier (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. VII, 1975). Cetakan pertama buku ini terbit pada 1941. Aslinya novel ini dalam bahasa Perancis. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Syaikh Musthafa Luthfi al-Manfaluthi. Kemudian Buya Hamka menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
 

Kamis, 28 Januari 2016

Pertama di 2016: Jejak Sophisme Dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia

Harga: Rp.15.000 + Ongkos Kirim


Judul Buku: Jejak Sophisme Dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia
Penulis: Qosim Nursheha Dzulhadi
Tahun Terbit: 2016
Halaman: 88
Genre: Kajian, Referensi


Muqaddimah 

Dalam orasi ilmiahnya pada peringatan 10 Tahun Perjalanan Dakwah INSISTS (25-27 Januari 2013) di Gedung Pertemuan Al-Irsyad, Jl. Solo-Tawamangu Km.27, Karangpandang – Jawa Tengah, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi mencatat bahwa umat Islam dewasa ini menghadapi dua tantangan sekaligus: eksternal dan internal. Tantangan pertama datang dari peradaban asing, khususnya Barat. Peradaban Barat modern dengan program globalisasi dan Westernisasi menyebarkan paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, dualisme, desakralisasi, pragmatisme dan sophisme, nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberal, sekularisme dan sebagainya. Sementara Barat modern ditambah lagi dengan paham Barat postmodern membaca paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan gender (gender equality), dan dekonstruksionisme. Paham-paham itu semua dengan sengaja telah dan sedang dimasukkan ke dalam pikiran dan kehidupan umat Islam dalam bentuk sistem, konsep, dan bahkan gerakan ekonomi, politik, pendidikan, budaya, ilmu pengetahuan dan sebagainya.[1] 

Dan tantangan kedua berkaitan dengan yang pertama, yaitu: bagaimana umat Islam dapat menolak, mengkritisi, mengasimilasi, atau memodifikasi sistem dan konsep-konsep asing yang multidisiplin ilmu itu. Sebab hal ini bukanlah kerja yang bisa dilakukan sembarangan orang. Bahkan kerja ini tidak bisa dilakukan oleh sekelompok cendekiawan yang hanya menguasai disiplin ilmu-ilmu syariah (‘ulūm naqliyyah) atau cendekiawan yang hanya menguasai sains fisika dan kemanusiaan (‘ulūm ‘aqliyyah).[2] Ringkasnya, tantangan internal umat Islam ada dua, yaitu: pertama, ketidak-berdayaan para cendekiawannya menghadapi paham, epistemologi dan ideologi asing secara kritis. Kedua, kelemahan tradisi pengkajian ilmu keislaman yang dapat memenuhi hajat umat dimasa sekarang.[3] 

Dan tantangan internal umat Islam itu ternyata lahir dalam wacana yang dikembangkan oleh kaum liberal – dalam ranah liberalisasi pemikiran Islam. Dimana doktrin-doktrin Barat modern maupun postmodern menjadi menu khusus pemikiran mereka. Doktrin relativisme, skeptisisme, dan nihilisme yang lahir dari rahim peradaban Barat modern dan postmodern itu diadopsi secara taken for granted. Ini adalah wujud dari hilangnya nalar-kritis sebagian intelektual umat Islam. Akhirnya doktrin-doktrin asing dan destruktif itu diterima dengan polos. Nyaris tanpa kritik. Lebih aneh lagi ternyata yang terjadi malah sebaliknya: Barat modern dan postmodern dibela, para ulamā’ yang anti doktrin-doktrin di atas malah dikritik habis-habisan. Ini, dalam bahasa sekarang, adalah logika postmodernism yang anti-otoritas. Dagangannya adalah tiga anak yang lahir dari postmodernism itu sendiri: relativisme, skeptisisme, dan nihilisme

Tentu saja hal di atas mengingatkan kita kepada catatan penting dari seorang Ibn Khaldūn (732-808 H/1332-1406 M) dalam kitab al-Muqaddimah yang amat terkenal itu,

الـمَغْلُوْبُ مُوْلَعٌ أَبَدًا بِالاِقْتِدَاءِ بِالْغَالِبِ فِي شِعَارِهِ وَ زِيِّهِ وَنَحْلَتِهِ
وَسَائِرِ أَحْوَالِهِ وَعَوَائِدِهِ

“Seorang pecundang (yang kalah) selalu tunduk kepada sang dalam segala hal: dalam motto-hidupnya, cara-berpakaiannya, keberagamaannya, bahkan dalam seluruh gerak-gerik hidup dan kebiasaanya).” 

Dan sebabanya hanya satu: inferiority complex (murakkab al-naqs) atau al-inhizām al-nafsī yang dalam bahasa Ibn Khaldūn disebutkan dalam kalimat: wa al-sabab fī dzālika anna al-nafsa abadan ta‘taqid al-kamāl fī man ghalabahu (adanya keyakinan bahwa kesempurnaan berada pada diri orang yang telah mengalahkannya).[4] Hal di atas adalah penyakit dan harus segera dilakukan diagnosa sekaligus pengobatan. Karena penyakitnya bersifat intelektualitas, maka obatnya juga harus tepat dan manjur (melalui sajian intelektualitas pula). Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan semacam preventive (al-wiqāyat) bagi siapa saja – yang jelas Muslim – yang belum mengidap penyakit inferiority complex di hadapan peradaban Barat itu. Dimana akhirnya peradaban Barat itu menjadi sumber keterkaguman yang berlebihan (al-inbihār bi al-gharb). Mudah-mudahan ini menjadi tindakan-pencegahan, karena seperti pepatah Arab menyatakan, al-wiqāyat khair min al-‘ilāj (mencegah itu lebih baik daripada mengobati). Bagi yang sudah terjangkiti, semoga mereka cepat sembuh seperti sedia-kala.
 


[1] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Sinergi Membangun Peradaban Islam”, dalam booklet 10 Tahun INSISTS: Sinergi Membangun Peradaban Islam (2013), hlm. 12-13. Lihat juga, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Membangun Kembali Peradaban Islam Secara Sinergis, Simultan dan Konsisten”, dalam Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (dkk), Membangun Peradaban dengan Ilmu (Kampus UI Depok: Kalam Indonesia, 1431 H/2010 M), hlm. 169-170. Lihat juga karya beliau, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya (Ponorogo-Jatim: Center of Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2010), hlm. 49-51.
[2] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Sinergi Membangun Peradaban Islam”, hlm. 16.
[3] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Sinergi Membangun Peradaban Islam”, hlm. 16.
[4] Lihat, ‘Abd al-Rahmaān ibn Khaldūn, al-Muqaddimah (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1431 H/2001 M), hlm. 184. Kitab ini biasa dikenal dengan Muqaddimah Ibn Khaldūn, yang jilid pertama dari kitab sejarah karyanya yang berjudul Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Tārīkh al-‘Arab wa al-Barbar wa Man ‘Āsharahum min Dzawī al-Sya’n al-Akbar.