Harga: Rp.15.000 + Ongkos Kirim |
Judul Buku: Jejak Sophisme Dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia
Penulis: Qosim Nursheha Dzulhadi
Tahun Terbit: 2016
Halaman: 88
Genre: Kajian, Referensi
Muqaddimah
Dalam orasi ilmiahnya pada peringatan 10 Tahun Perjalanan
Dakwah INSISTS (25-27 Januari 2013) di Gedung Pertemuan Al-Irsyad, Jl.
Solo-Tawamangu Km.27, Karangpandang – Jawa Tengah,
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi mencatat bahwa umat Islam dewasa ini menghadapi dua
tantangan sekaligus: eksternal dan internal. Tantangan pertama
datang dari peradaban asing, khususnya Barat. Peradaban Barat modern dengan
program globalisasi dan Westernisasi menyebarkan paham sekularisme, rasionalisme,
empirisisme, dualisme, desakralisasi, pragmatisme dan sophisme, nasionalisme,
kapitalisme, humanisme liberal, sekularisme dan sebagainya. Sementara Barat
modern ditambah lagi dengan paham Barat postmodern membaca paham baru seperti
nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan gender (gender equality),
dan dekonstruksionisme. Paham-paham itu semua dengan sengaja telah dan sedang
dimasukkan ke dalam pikiran dan kehidupan umat Islam dalam bentuk sistem,
konsep, dan bahkan gerakan ekonomi, politik, pendidikan, budaya, ilmu
pengetahuan dan sebagainya.[1]
Dan tantangan kedua berkaitan dengan yang pertama,
yaitu: bagaimana umat Islam dapat menolak, mengkritisi, mengasimilasi, atau
memodifikasi sistem dan konsep-konsep asing yang multidisiplin ilmu itu. Sebab
hal ini bukanlah kerja yang bisa dilakukan sembarangan orang. Bahkan kerja ini
tidak bisa dilakukan oleh sekelompok cendekiawan yang hanya menguasai disiplin
ilmu-ilmu syariah (‘ulūm naqliyyah) atau cendekiawan yang hanya
menguasai sains fisika dan kemanusiaan (‘ulūm ‘aqliyyah).[2]
Ringkasnya, tantangan internal umat Islam ada dua, yaitu: pertama,
ketidak-berdayaan para cendekiawannya menghadapi paham, epistemologi dan
ideologi asing secara kritis. Kedua, kelemahan tradisi pengkajian ilmu
keislaman yang dapat memenuhi hajat umat dimasa sekarang.[3]
Dan tantangan internal umat Islam itu ternyata lahir dalam
wacana yang dikembangkan oleh kaum liberal – dalam ranah liberalisasi pemikiran
Islam. Dimana doktrin-doktrin Barat modern maupun postmodern menjadi menu
khusus pemikiran mereka. Doktrin relativisme, skeptisisme, dan nihilisme
yang lahir dari rahim peradaban Barat modern dan postmodern itu diadopsi
secara taken for granted. Ini adalah wujud dari hilangnya nalar-kritis
sebagian intelektual umat Islam. Akhirnya doktrin-doktrin asing dan destruktif itu diterima
dengan polos. Nyaris tanpa kritik. Lebih aneh lagi ternyata yang terjadi malah
sebaliknya: Barat modern dan postmodern dibela, para ulamā’ yang anti
doktrin-doktrin di atas malah dikritik habis-habisan. Ini, dalam bahasa
sekarang, adalah logika postmodernism yang anti-otoritas. Dagangannya
adalah tiga anak yang lahir dari postmodernism itu sendiri: relativisme,
skeptisisme, dan nihilisme.
Tentu saja hal di atas mengingatkan kita kepada catatan penting
dari seorang Ibn Khaldūn (732-808 H/1332-1406 M) dalam kitab al-Muqaddimah
yang amat terkenal itu,
الـمَغْلُوْبُ مُوْلَعٌ
أَبَدًا بِالاِقْتِدَاءِ بِالْغَالِبِ فِي شِعَارِهِ وَ زِيِّهِ وَنَحْلَتِهِ
وَسَائِرِ أَحْوَالِهِ
وَعَوَائِدِهِ
“Seorang
pecundang (yang kalah) selalu tunduk kepada sang dalam segala hal: dalam
motto-hidupnya, cara-berpakaiannya, keberagamaannya, bahkan dalam seluruh
gerak-gerik hidup dan kebiasaanya).”
Dan sebabanya hanya satu: inferiority complex (murakkab
al-naqs) atau al-inhizām al-nafsī yang dalam bahasa Ibn Khaldūn
disebutkan dalam kalimat: wa al-sabab fī dzālika anna al-nafsa abadan
ta‘taqid al-kamāl fī man ghalabahu (adanya keyakinan bahwa kesempurnaan
berada pada diri orang yang telah mengalahkannya).[4] Hal di atas adalah penyakit dan harus segera dilakukan
diagnosa sekaligus pengobatan. Karena penyakitnya bersifat intelektualitas,
maka obatnya juga harus tepat dan manjur (melalui sajian intelektualitas pula).
Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan semacam preventive (al-wiqāyat)
bagi siapa saja – yang jelas Muslim – yang belum mengidap penyakit inferiority
complex di hadapan peradaban Barat itu. Dimana akhirnya peradaban Barat itu
menjadi sumber keterkaguman yang berlebihan (al-inbihār bi al-gharb).
Mudah-mudahan ini menjadi tindakan-pencegahan, karena seperti pepatah
Arab menyatakan, al-wiqāyat khair min al-‘ilāj (mencegah itu lebih baik
daripada mengobati). Bagi yang sudah terjangkiti, semoga mereka cepat sembuh
seperti sedia-kala.
[1] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Sinergi Membangun Peradaban
Islam”, dalam booklet 10 Tahun INSISTS: Sinergi Membangun Peradaban Islam
(2013), hlm. 12-13. Lihat juga, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Membangun Kembali
Peradaban Islam Secara Sinergis, Simultan dan Konsisten”, dalam Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi (dkk), Membangun Peradaban dengan Ilmu (Kampus UI Depok: Kalam
Indonesia, 1431 H/2010 M), hlm. 169-170. Lihat juga karya beliau, Peradaban
Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya (Ponorogo-Jatim: Center of Islamic
and Occidental Studies (CIOS), 2010), hlm. 49-51.
[4] Lihat, ‘Abd al-Rahmaān ibn Khaldūn, al-Muqaddimah (Beirut-Lebanon:
Dār al-Fikr, 1431 H/2001 M), hlm. 184. Kitab ini biasa dikenal dengan Muqaddimah
Ibn Khaldūn, yang jilid pertama dari kitab sejarah karyanya yang berjudul Dīwān
al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Tārīkh al-‘Arab wa al-Barbar wa Man ‘Āsharahum min Dzawī
al-Sya’n al-Akbar.